Merayakan Sastra (dari) Pinggiran

Sumber (pinterest/
bintoro hoepoedio
)

Oleh: Susanto Aboge

Jonjang dhomino solo, babu londo momong sinyo

sinyone nangis bae, didolani montor mabur

montor mabur, mabur ning nduwur

numpak sepur mudhun ning kroya

...

Tembang jonjang itu yang diajarkan nenek selagi saya masih kecil masih saya ingat hingga sekarang. Kalau menurut kriteria pembagian generasi, saya masih terbilang generasi milenial karena lahir antara tahun 1980-1995. Dan tembang bersyair Jawa itu seperti mampu menghubungkan saya dengan nenek saya yang lahir menurut identitas KTP seumur hidupnya bertuliskan 31 Desember 1934. 

Sedari kecil saya tak pernah memikirkan arti syair tembang dolanan jonjang dhomino solo itu. Mungkin sebab dari tembang itu saya mendapatkan kebahagiaan dari orang yang lahir jauh dari generasi 'baby boomers'. Saya kini menyadari betapa kasih sayang itu masih saja kokoh, meski tulang belakang nenek saya terus melengkung: bongkok. 

Saya kini berpikir betapa kebahagiaan dan ingatan bisa disampaikan dengan cara begitu sederhana. Nenek saya buta huruf tapi tetap saja bisa membahagiakan cucunya yang cuma dua. Mungkin itu pembelajaran hidupnya selama mengasuh tiga adik lelakinya yang sempat mengenyam bangku sekolah jaman kolonial. 

Betapa pelajaran membahagiakan orang terdekat begitu penting. Dengan cara apapun dan media apapun, kebahagiaan dan kasih sayang bisa disampaikan kepada orang terkasihnya. Begitupun nenek saya kepada saya dan adik saya. Seorang buta huruf memberikan nyanyian tanpa menjelaskan tafsir tentang tembang itu. 

Kembali ke tembang dolanan itu, saya menafsir betapa tembang itu sebenarnya menceritakan tentang stratifikasi masyarakat di era kolonial. Penjajah menempati tingkatan atas sehingga membawahi pribumi. Anak Belanda: Sinyo sudah mendapatkan permainan tentang pesawat terbang dan kereta api. Lagi-lagi, yang memberikan permainan adalah seorang babu: pembantu rumah tangga. 

Kalau saya mencium masa lampau dengan lagu dolanan warisan nenek saya, maka saya melihat tulisan Agustav Triono mengajak kembali melihat ironi sejarah kolonial lewat puisi Gedung-Gedung Tua. Dalam puisi itu terlihat betapa di masa lampau begitu jelas ketidakadilan di bumi manusia dengan begitu serius. 

Entahlah, kenapa nenek saya justru menceritakan ketidakadilan itu dengan tanpa beban dengan tembang dolanan. Ya, mungkin jangan-jangan ia memang tak pernah merasa terjajah. Itu karena ketidak tahuannya, ataupun bisa jadi ia sudah terbiasa hidup menderita. Bukankah kepahitan yang dikalikan seribu, bisa berubah menjadi rasa manis. 

Dulu saya sempat mencicipi mata kuliah pilihan Sosiologi Sastra di sekolah bernama jenderal besar itu. Saya bersyukur meski mata kuliah pilihan itu bisa memberikan pemahaman yang membahagiakan bagi saya. Mungkin karena faktor metodologi kuliah yang menyenangkan. 

Dari kuliah dua SKS itu, lebih banyak mengajak kami yang kurang dari 10 orang mahasiswa untuk membaca karya sastra, memperdengarkan karya sastra, menonton film dan mendiskusikannya. Kami bahkan diminta jadi lebih aktif mencari teori kesusastraan untuk menguliti dan membedah isi karya sastra berupa tulis hingga film.

Hak Segala Kasta

Di sana saya memahami betapa sastra adalah hak segala bangsa bahkan semua kasta. Semua bisa membaca, menulis, mengkritisi, memuja hingga mencaci apa yang disebut sastra dengan kuantitas, kualitas, kapasitas yang mereka (klaim) miliki. Di tengah ruang sastra yang begitu inklusif, tentunya persoalan sastra mulai dari definisi sastra yang melebihi bahasa, kepenyairan, kepenulisan selalu mengemuka. 

Teman saya seorang lulusan sastra yang kini menjadi wartawan pernah bercerita, bagaimana puisinya yang ditulis dengan bertangis dan berdarah memiliki nasib yang begitu tragis. Ketika sampai di tangan teman teater kampus, puisi yang telah tertulis di kertas itu harus disobek-sobek hingga dibakar. Dalam forum itu, ada otoritas tentang apa definisi, bagaimana hingga seberapa, tulisan disebut karya sastra. 

Di sisi lain, jauh dari kehidupan akademik, di tahun 1990-an di Tegal, muncul fenomena seorang pedagang tempe, yang 'nyambi' menjajakan puisi. Dengan kreatif, ia menulis puisi, mencetak hingga menjualnya sendiri. Di sini, ia menjadi semuanya: produsen, distributor, hingga pemasar. Entah laris atau tidak nasib puisinya. 

Tak hanya itu, saya juga pernah mendengar cerita komunitas-komunitas penyuka sastra dan penulis sastra di daerah melakukan hal yang sama. Mereka menulis bersama, mengkurasi bersama dan menerbitkan bersama apa yang mereka sebut puisi atau karya sastra lainnya. Ya, sesederhana mungkin dalam bentuk stensilan. 

Di tengah sengitnya polemik 'sastra' tentang kepenyairan di Banyumas, Februari 2020, kita bisa melihat keterbelahan manusia. Di panggung polemik itu saya melihat berbagai peran dimainkan oleh teman-teman. Di dalam arena panggung itu, ada penonton di dalam gelanggang dan luar gelanggang berbisik, berteriak dan berkomentar. 

Siapa yang diuntungkan dari polemik ini? Tapi mungkin pertanyaannya yang tepat bukan itu. Karena masing-masing orang pasti punya pemikiran sendiri. Namun dari polemik inilah, kita mendapatkan gambaran betapa sastra ataupun apa sebutannya itu, bisa menyulut gerak. Dampaknya apa? mari kita lihat waktu yang menjawabnya. 

Alangkah bijak bestari, jika semua saling memahami posisi dengan segala konsekuensinya. Seorang penulis wajar mendapatkan kritik. Seorang pengkritik, patut untuk diberi rasa terimakasih hingga penolakan. Lembaga penerbit yang wajar dianggap ada atau tiada atau serta tertuduh bermain untuk kepentingan komodifikasi atau kapitalisasi 'an sich'. 

Seiring waktu yang terus berjalan, di antara panggung polemik itu mungkin akan terus terjadi, juga ada hal lain yang terus berjalan. Di antara perdebatan pentingnya kurasi sastra hingga ide perlunya semacam 'cyber sastra', proses kreatif kepenulisan termasuk (yang dianggap) sastra oleh komunitas terus berjalan. Proses itu tentunya dilaksanakan dengan berbagai cara dan tujuan si penulisnya. 

Di satu sisi kita patut bersyukur karena di tengah tudingan rendahnya literasi, masih banyak (guru) yang menulis. Mungkin perlu disadari betapa tingkat literasi kita masih baru terukur dalam tahapan kuantitatif. Namun demikian, hal ini bukan berarti kita menafikan soal tahapan kualitatif kesusastraan. 

Sebagaimana arti sastra yang berasal dari kata su-sastra, alat mencapai kebaikan, semoga sastra juga bisa menjadi alat mencapai kebahagiaan. Bersastra juga harus dilaksanakan secara adil sejak dalam pemikiran, apalagi bagi kaum terpelajar. 

Membaca 'Iloken Sastra Bisa'  karya Hamidin Krazan dalam buku ini, saya melihat betapa berat tugas (penulis, penyampai) sastra. Semua mulai dari akademisi, hingga pemuisi lanjut usia-belia begitu di sana ditulis harus memaknai dalam 'sangkan paran kata' dicipta, dianggit agar berima, berirama dan bermakna serta berguna untuk kemanusiaan bahkan ke Tuhanan. 

Harapan besar untuk memposisikan sastra sebagai  media dakwah, hingga ruh perubahan sosial lebih baik mungkin bisa jadi bagian kualifikasi sastra yang diharapkan. Sastra bisa menjadi penjaga revolusi, pendokumentasi dan media yang menyentak ruh-ruh penjaga zaman agar tetap 'waras' di jaman edan tentu tetap dibutuhkan. 

Membaca lebih dari seratus yang tertulis di buku ini, saya melihat aneka macam tulisan. Kumpulan tulisan ini ada yang secara lugas menceritakan tentang rindu kepada Tuhan, nabi, ulama, ibu, ayah hingga kekasih terlarang. Tetapi ada pula yang (mungkin) menulis di sini sebagai wahana melepas penat rutinitas yang semakin gila. Mungkin juga ada yang berpikir dengan memplesetkan 'corona' ke dalam puisi maka ia terbebas dari virus ganas lainnya. 

Terlepas dari kualifikasi tulisan yang tercetak di buku ini, saya melihat ada rona kebahagiaan dari para penulisnya, bahkan dari penerbitnya. Saya melihat,di tengah carut marutnya sistem pendidikan kita yang lebih berparadigma kuantitatif, ternyata masih banyak guru yang bisa menulis dengan gembira.

Di tengah tuduhan yang mungkin saja benar, menulis hanya untuk mengejar angka kredit, ternyata masih banyak juga guru (abdi negara atau wiyata bhakti)  yang menulis untuk mengejar kebahagiaan batin. Sambil menunggu pihak-pihak tertentu yang mengupayakan kurasi sastra, kita patut berbangga ternyata masih banyak saudara-saudara yang mau merayakan sastra (dari) pinggiran dengan cukup bahagia. 

Di sini saya menulis bukan untuk bisa berbagi kebahagiaan dengan membagikan cerita nenek saya. Jadi jangan berharap saya mendefinisikan 'sastra pinggiran' itu apa.  Biarlah itu menjadi porsi bagi pemilik otoritas kuasa dan pengetahuan tentang sastra. 

Ya, saya memaknai lagu dolanan nenek saya sebagai sastra. Ya, sastra: alat untuk mencapai kebaikan dan kebahagiaan meski dari pinggiran. Ya, meski sederhana, kebaikan itu sungguh membahagiakan. Bagaimana dengan anda?


*Tulisan ini ditulis 25 Februari 2020 untuk memenuhi permintaan prolog buku kumpulan puisi Sastra Pinggiran. 

sastrapinggiran.id Web blog ini adalah ruang inklusif untuk dokumentasi karya literasi yang dikelola Komunitas Sastra Pinggiran. Anda bisa bertanya dan berbagi kiriman karya baik cerpen, cerkak, puisi, guritan, esai bisa dikirim ke : red.sastrapinggiran@gmail.com

Belum ada Komentar untuk "Merayakan Sastra (dari) Pinggiran"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel